Interelasi Teater “Manusia Jero Botol” dan Psikologi Abnormal

Teater “Manusia Jero Botol” ini diselenggarakan di Auditorium lama UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tepatnya, pada tanggal 11 April 2016 selepas Isya’. Dengan suasana yang tidak kebetulan telah turun hujan, menambah atmosfer istimewa tersendiri bagi penampilan pada saat itu. Meskipun sedikit mengganggu suara para pemeran, namun hujan telah mampu menyihir penonton dan membuatnya terpaku semakin takzim menyaksikan pertunjukan.

Sebagaimana wajarnya analisis, maka tentu alur kronologis beserta detail cerita tak dibahas di sini. Barangkali akan ada beberapa cuil atau segmen-segmen tertentu yang penulis rasa urgen untuk dipaparkan. Pada intinya, lebih diutamakan tentang apa kaitan atau interelasi antara teater “Manusia Jero Botol” dengan psikologi abnormal—sesuai dengan mata kuliah yang dijadikan ‘teropong’ dan tengah dikaji kali ini. Sehingga kita selaku pengamat sekaligus penganalisis, diharapkan agar sanggup menarik garis hubung mengenai cerita teater yang disutradarai Kang Yayan Katho tersebut dengan materi-materi psikologi abnormal yang telah kita (mahasiswa) kenyam.

Memang, sebelum menuju ke analisis, saya pribadi akui bahwa naskah karya Yusef Muldiyana ini sedemikian apik dan secara unik dikemas. Bertepatan dengan festival bahasa Sunda, memberikan kesan tersendiri bagi kami yang mahasiswa perantauan. Untung saja, lumayan banyak yang saya mengerti. Cuma beberapa kata saja yang masih bingung lantaran memakai sunda buhun tetapi telah paham sebab di samping ada teman seangkatan yang memberi tahu saat saya bertanya. 

Sehemat pengetahuan saya, nilai dan gambaran paradoks karakter, absurditas yang imaginatif tetapi juga refleksi kritis yang terkandung di dalamnya, mewarnai jalan cerita secara khas dan membikin berbeda dari kebanyakan. Apalagi beberapa kalimat dalam dialog mengandung kritik bahwa dunia khayal yang sedemikian runyam, masih saja kalah aneh dengan realita yang telah ada di depan mata kita semua.

Kini, waktunya menuju ke analisis.

Dengan memakai common-sense—logika akal pada umumnya—saja, sudah barang tentu apabila kita menyaksikan karakter tokoh utama, Dora, akan terlihat dan kita temukan sisi ‘kelainan’ atau abnormalitasnya. Tanpa perlu memakai proses diagnosa yang serius, sekadar melihat teaternya saja, akan tampak khayalan Dora seolah sudah demikian parah. Menembus batas-batas kenormalan seseorang, bahkan menerabas batas-batas angan. Sekalipun itu suatu imaginasi, tetap saja masih terbilang rumit dan absurd jika menjelma sebagai sesuatu yang tampak benar-benar nyata seperti yang dialami Dora.

Berawal-mulakan Pak Tua yang menjadi narator, berperan untuk menuju alam mimpi. Lalu muncul lah tokoh utama Dora. Sekadar short-cut saja, Dora berlaku aneh semisal bergaul dengan botol-botol di kamar, tak lain ialah merupakan produk tak langsung dari pola asuh orang tuanya. Mulai dari berbicara, curhat, hingga pacaran dan bercumbu pun dengan botol—sebagai pelarian dan manifestasi kungkungan—akibat kekangan tidak dibolehkan ibunya bergaul di dunia luar dengan alasan kekhawatiran yang terlalu. 

Padahal, seharusnya ia menjadi seorang gadis yang periang dengan segala kecukupan dan kemewahan, dimanjakan sang Ibunda. Dalam mata pandang (point of view) saya pribadi, tentu saja ada suatu dilematika yang tertempel pada pemeran Ibu yang penyayang dan ingin yang terbaik (untuk anak) tetapi seakan-akan menjadi antagonis penyebab segala kerisauan batin Dora—selaku anak angkat yang sampai akhir tetap tidak tahu fakta itu.

Dora adalah simbol gadis berkecukupan, dibesarkan oleh kemewahan, kekayaan, dan apa pun keinginannya dipenuhi sang Ibu kecuali keluar rumah tanpa pengawasannya. Namun, justru itulah pemantik pertama senapan pemberontakan jiwanya. Menjadi boomerang atau blunder sendiri: melahirkan kekecewaan, kosongan sekaligus kemiskinan dalam kekayaan hidup. Membikin dirinya penyendiri, kesepian yang menggerogoti batin, tanpa pernah mencicipi, walau sekecap saja, rasa cinta. Kemudian hal itu pula yang mengakibatkan cara merawat mawar kesukaannya pun berbeda, menyuruh bibi (pembantunya) agar menyirami dengan darah!

Hingga datanglah tokoh Mardi, awal cerita. Ia curhat dan bertukar cakap tentang banyak hal. Bertanya banyak semacam apa itu kabagjaan nu saestu, apa itu kebebasan dan seperti apa rasanya dunia luar yang konon indah itu. Tokoh Mardi yang pada akhirnya dikambing-hitamkan oleh Ibunya, lantaran tertuduh menjadi pemicu pemberontakan Dora. Namun pada kenyataannya itu berasal dari suara jiwanya sendiri. Lantas bertemulah ia dengan pemuda eksentrik, si Koboy, yang memberikan pistol kepada Dora sebagai lambang pembebas kungkungannya.

Dari cerita keseluruhan, sangat tak boleh bagi saya untuk memandang secara linier-parsialistik. Terutama karena kehidupan begitu kaya akan dimensi-dimensinya yang saling berkelindan. Perlu adanya usaha, dalam setiap menghadapi suatu permasalahan, agar memandang secara dialektika-komprehensif. Demikian pula terhadap ‘kasus’ Dora ini.

Pola asuh yang pada nantinya menciptakan pemberontakan Dora, telah sering kita dapati di kehidupan nyata. Setahu saya, dengan memakai istilah sendiri, Dora telah terjangkit sejenis “patologi cinta”. Yakni saja secara psikologis ia tergolong abnormal, atau bahkan sudah akut timbul skizofrenia dengan daya halusinasi yang kuat (sampai mampu mewujud manusia nyata di pikirannya, yang ketika Mardi menyebut kata “botol-botol” saja, ia marah dan harus diganti maranehna). 

Atas dasar inilah ia sudah termasuk ke dalam objek psikologi abnormal. Umpama memakai qiyas aulawi: ke dalam psikologi abnormal yang cakupannya khusus pada aspek psikologis saja ia sudah tercakup, lebih-lebih ke dalam abnormalitas yang ruang-lingkupnya lebih luas? Lagi-lagi tentu saja termasuk sekali.

Setelah membunuh Ibunya sendiri dengan pistol pemberian si Koboy, maka Dora dihukum nantung saumur hirup. Telah menjadi penghias dan bumbu ending yang menggantung adegan tersebut. Ia mengamuk pada semua botol-botol koleksinya (teman-teman curhatnya), dan menangis—tetap dengan kondisi belum mengerti apa itu kabagjaan nu saestu. Apa itu kebahagiaan yang sejati.

Dibesarkan dengan pola asuh seorang Ibu yang over-possessive dan suka menonton drama serial Turki—tetap dengan bayang-bayang dilematika harapan baik untuk anaknya yang justru malah blunder. Nahas sekali. Pendapat saya, pola asuh semacam itu, bisa saja disebut pola asuh “sangkar burung”. Orang jepang menyebutnya torikago (sementara bahasa Inggris: birdcage). Mendidik anak berbekal rasa memiliki yang berlebihan. Walau sempat mengajaknya ke pameran elektronik, dan Dora pada waktu itu baru pertama kali menolak ajakan Ibunya—meskipun ini tak layak dicontoh juga.

Kendati demikian, dari keutuhan cerita penampilan anak-anak Teater Awal ini beserta nilai-nilai tersiratnya, dapat kita gali untuk kemudian menyadari ungkapan: bahwa kemapanan hidup (kekayaan materi) yang kita punya seringkali tidak berbanding lurus, tidak paralel dengan kebahagiaan. Dan fakta ini sungguh kerap kita temukan di mana saja, dalam kehidupan nyata utamanya. 

Sebab, pada hakikatnya, kebahagiaan sejati tak lain berasal dari dalam diri kita sendiri, dari dalam jiwa yang tenang. Bukan semata-mata bisa dinilai dan diukur oleh materi. Justru kekayaan materi itulah yang tak jarang meng-gerhanakan kebahagiaan sejati—yang sebenarnya sudah ada pada kedalaman jiwa masing-masing. Dan ini hanya sekadar kebahagiaan semu yang mudah sekali menipu.

Demikian sudah hanya sekelumit dari simple-analysist saya, baik dari segi psikologi abnormal maupun beberapa cuilan nilai-nilai yang terkandung dalam cerita (pesan moralnya). Barangkali sedikit begini saja. Wallahu a’lam.[]
Bandung, 19 April 2016

Tinggalkan komentar

Situs yang Dikembangkan dengan WordPress.com.

Atas ↑